KELOMPOK
11
PERSPEKTIF LEMBAGA KEUANGAN NON-BANK
OLEH
1. ANNISA
APRIANI (A1B110002)
2. NYOMAN
SURYA OKTAMASNA TIKA (A1B110010)
3. NURUL
AZIZAH (A1B110024)
4. BQ. DEWI
LARA FEBRIANI (A1B110051)
5. NI
NYOMAN TRILIANA BAYANGKARI (A1B110074)
S-1 MANAJEMEN
MANAJEMEN REGULER SORE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MATARAM
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan
Yang Maha Esa, karena berkat izin, rahmat dan bimbingan-Nya tulisan ini dapat
diselesaikan tepat waktu dan tanpa hambatan yang berarti. . Judul dari tulisan
ini adalah “PERSPEKTIF LEMBAGA KEUANGAN
NON-BANK”.
Dalam
masa sekarang banyak pandangan masyarakat tentang lembaga keuangan non bank,
seperti asuransi, leasing, pegadaian dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa
perspektif dari masyarakat sangat mempengaruhi kinerja dari lembaga keuangan
tersebut. Apabila masyarakat menanggapi positif maka lembaga tersebut akan
dapat berkembang secara signifikan.
Akan tetapi tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari para pembaca sangat diharapkan. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua
pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tulisan dan semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Mataram, 7 Mei 2012 penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar
Isi.................................................................................................................... ii
BAB
I: PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang............................................................................................... 1
1.2.
Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
Bab
II: TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Perspektif......................................................................................... 3
2.2.
Definisi Lembaga Keuangan Non-Bank........................................................ 3
BAB III: PEMBAHASAN
3.1. Perspektif Perkembangan Lembaga Keuangan
Non-Bank..................... 4
3.2. Perspektif Masyarakat Terhadap Lembaga Keuangan Non-Bank.......... 6
BAB IV: PENUTUP
4.1. Kesimpulan......................................................................................................... 11
4.2.Saran.................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Selain
bank sentral, bank umum, dan bank perkreditan rakyat, masih ada lembaga
keuangan lain bukan bank yang tidak diatur dalam undang-undang perbankan. Yang
dimaksud lembaga keuangan lain/non bank ialah lembaga yang bergerak di bidang
keuangan atau perkreditan yang tidak diatur dalam undang-undang perbankan.
Kegiatan usahanya memberikan pinjaman kepada masyarakat dari dana milik sendiri
maupun dana pinjaman bank milik pemerintah.
Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) mempunyai fungsi
sebagai berikut:
·
Memberikan
pinjaman atau kredit kepada masyarakat yang berpendapatan rendah, agar mereka
tidak terjerat rentenir atau pelepasan uang.
·
Membiayai
pembangunan industri dan memperlancar pembangunan ekonomi lewat pembangunan
pasar uang dan pasar modal.
Pemberian
kredit kepada masyarakat berpendapatan rendah sifatnya menolong, sehingga tidak
memperhatikan penggunaannya baik produktif atau konsumtif. Kredit yang
diberikan ada yang berjaminan dan ada pula yang tidak berjaminan. Pemberian
kredit kepada investor untuk membangun industri dilaksanakan dengan cara
membeli saham atau obligasi yang diterbitkan lewat pasar modal. Selain cara
tersebut, pemberian kredit jangka pendek dapat secara langsung lewat pasar
uang.
Dalam
masa sekarang banyak pandangan masyarakat tentang lembaga keuangan non bank,
seperti asuransi, leasing, pegadaian dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa
perspektif dari masyarakat sangat mempengaruhi kinerja dari lembaga keuangan
tersebut. Apabila masyarakat menanggapi positif maka lembaga tersebut akan
dapat berkembang secara signifikan.
1.2.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memberikan informasi pada pembaca tentang perspektif
lembaga keuangan non bank baik dari segi masyarakat maupun perkembangannya di
masa mendatang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
DEFINISI PERSPEKTIF
Perspektif menurut
Kotler (2000) adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan
menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran
keseluruhan yang berarti, sementara menurut Rakhmat (2005) adalah pengalaman
tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Jauh sebelum itu. Perspektif
dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat
respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Jauh sebelum itu,
Leavitt (1978) menyatakan bahwa pengertian perspektif dalam arti sempit ialah
penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti
luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu. Hal tersebut juga berarti bahwa setiap orang menggunakan kacamata
sendiri-sendiri dalam memandang dunianya. Perspektif juga bisa berarti analisis
mengenai cara mengintegrasikan penerapan kita terhadap hal-hal di sekeliling
individu dengan kesan-kesan atau konsep yang sudah ada, dan selanjutnya
mengenali benda tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat bagaimana seorang yang
tidak dapat melihat, akan lebih banyak menggunakan imajinasinya dalam membentuk
sebuah persepsi atas objek yang dipegang, diraba, dicium. Dikaitkan definisi
perspektif menurut Kotler, maka perspektif masyarakat dapat diartikan sebagai
sebuah proses yang dimiliki oleh seseorang dalam menilai dan
mengintrepretasikan obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
yang akhirnya menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan secara keseluruhan.
2.2.
DEFINISI LEMBAGA KEUANGAN NON-BANK
Lembaga
keuangan lain/non bank ialah lembaga yang bergerak di bidang keuangan atau
perkreditan yang tidak diatur dalam undang-undang perbankan. Kegiatan usahanya
memberikan pinjaman kepada masyarakat dari dana milik sendiri maupun dana
pinjaman bank milik pemerintah.
BAB III
PEMBAHASAN
Pembedaan antara
Lembaga Keuangan Bank dan Non-Bank dapat dikatakan sangat signifikan. Persepsi
lembaga keuangan bank dapat dikategorikan sebagai suatu lembaga keuangan
tersendiri atau suatu entitas tersendiri menjadikan persepsi lembaga keuangan
bank sudah cukup mengakar di masyarakat. Dapat dipastikan masyarakat mengetahui
arti atau konsep mengenai perbankan. Berbeda dengan lembaga keuangan non-bank,
pada kategori ini memiliki banyak jenis seperti yang disebutkan sebelumnya,
seperti asuransi, pegadaian, dana pensiun, reksa dana, bursa efek, leasing dan
sebagainya.
3.1.
PERSPEKTIF PERKEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN NON-BANK
Lembaga keuangan non-bank (seperti perusahaan asuransi, dana
Pensiun, perusahaan sewa guna usaha (leasing) dan modal usaha, dan pasar modal
(termasuk pasar modal dan obligasi) memiliki peran yang penting untuk dimainkan
dalam pembangunan Indonesia di masa mendatang. Karena Sektor keuangan yang kuat
dapat memberikan landasan yang kuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Dan
pertumbuhan ekonomi yang baik merupakan suatu syarat utama bagi pengentasan
kemiskinan. Hampir satu
dasawarsa setelah mulainya krisis ekonomi, sektor keuangan Indonesia masih
terus didominasi oleh bank-bank umum.
Indonesia memerlukan sumber daya dalam negeri jangka panjang
yang dapat dikerahkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank, yang kelak dapat
digunakan untuk membiayai investasi produktif, termasuk antara lain
infrastruktur. Ini menyediakan jendela peluang untuk reformasi yang sangat
diperlukan.
Sebuah sistem Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang
dikembangkan dengan baik berpotensi memenuhi sasaran-sasaran pembangunan jangka
panjang ini dengan jalan membawa stabilitas lebih jauh pada sistem keuangan,
mengurangi biaya jasa keuangan secara keseluruhan dan menyingkap sumber daya
domestik untuk tujuan pembangunan. Sektor LKNB yang kuat akan memungkinkan
Pemerintah menempatkan obligasi di pasar domestik, menyediakan pembiayaan dalam
rupiah untuk keperluan infrastruktur, menyediakan pendanaan bagi UKM (sehingga
menciptakan lapangan kerja) dan meningkatkan keamanan keuangan rakyat Indonesia
dengan memungkinkan akses ke berbagai macam produk.
Lembaga Keuangan Non Bank juga membantu mempermudah investasi
dan pembiayaan jangka panjang, yang seringkali menjadi tantangan dalam
tahap-tahap awal pembangunan sektor keuangan berorientasi bank. Pertumbuhan
lembaga simpanan kontraktual/kolektif seperti perusahaan asuransi, dan dana
pensiun memperluas kisaran produk yang tersedia bagi masyarakat dan perusahaan
yang mempunyai sumber daya untuk diinvestasikan. Lembaga-lembaga ini juga
menjadi saingan bagi simpanan bank, sehingga memobilisasi dana jangka panjang
yang diperlukan untuk pengembangan pasar modal dan pasar obligasi, serta
keuangan infrastruktur.
Di Indonesia sendiri sektor keuangan saat ini didominasi oleh
bank umum. Situasi saat ini dan pembahasan di atas mengenai peran Lembaga
Keuangan Non Bank menunjuk perlunya semakin mengembangkan pasar modal, dana
pensiun, perusahaan asuransi, perusahaan sewa guna usaha, dan dana modal usaha
di Indonesia, karena lembaga-lembaga ini memang lebih terarah untuk menanggung
beberapa jenis risiko.
Indonesia memerlukan Lembaga Keuangan Non Bank yang kuat
karena beberapa alasan seperti: Lembaga Keuangan Non Bank dapat memainkan peran
yang sangat penting dalam pengerahan dan alokasi sumber daya dalam negeri untuk
pengembangan pembiayaan, yang merupakan prioritas mendesak, Lembaga Keuangan
Non Bank dapatmengurangi kerentanan sektor keuangan terhadap goncangan di masa
mendatang, dan Lembaga Keuangan Non Bank dapat membantu memenuhi
sasaran-sasaran lainnya yang disampaikan oleh pemerintah.
3.2.
PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN NON-BANK
1. Perspektif Masyarakat terhadap Asuransi
Kebutuhan
masyarakat Indonesia terhadap asuransi belum dapat dikatakan tinggi. Hal ini
dikarenakan beberapa kendala. Fenomena yang terjadi di masyarakat ketika ada
salah satu agen (tenaga penjual asuransi) menawarkan asuransi, khususnya
asuransi jiwa, yang terbenak dalam pikiran mereka adalah menemui kesulitan
ketika terjadi klaim, bahkan ada istilah uang nasabah yang di bawa lari atau
perusahaan asuransi tersebut bangkrut karena tidak bisa membayar klaim para
nasabah. Tidak dapat menutup mata bahwa persepsi ini masih ada di masyarakat.
Hal lain yang sering ditemui adalah belum sadarnya masyarakat akan kebutuhan
berasuransi, sehingga tenaga penjual dibekali pengetahuan untuk menciptakan
kebutuhan bagi nasabah untuk membeli produk asuransi. Hal yang menjadi pusat
perhatiannya saat ini adalah mencukupi kebutuhan dasarnya. Keadaan ini sesuai
dengan sudut pandang tingkat kebutuhan versi Abraham Maslow, yang menempatkan
security needs (termasuk di dalamnya asuransi) berada pada tingkatan kedua,
setelah kebutuhan dasar. Alasan ini mudah dimengerti, karena bagaimana orang
akan membeli asuransi jika untuk makan-minum dan kebutuhan sehari-hari saja
masih belum dapat tercukupi.
Keadaan ekstrim lain yaitu orang yang sudah banyak sekali
memiliki uang/aset sehingga tidak memerlukan lagi membeli asuransi untuk
menutupi risiko yang mungkin timbul. Bagi mereka yang tidak begitu memahami apa
manfaat yang mungkin diperoleh jika ia membeli asuransi. Termasuk dalam
kelompok ketiga ini orang-orang yang mengatakan membeli asuransi itu berarti
meramalkan kematiannya atau mereka yang mengatakan, ”Hidup dan mati itu
ditangan Tuhan. Jika terjadi kematian pada seseorang, sementara orang tersebut
adalah pencari nafkah utama di dalam keluarganya, maka akan hilanglah sebagian
besar pendapatan, atau mungkin bahkan seluruh pendapatan yang diterima oleh
keluarga. Yang kemudian terjadi dalam waktu dekat akan terbayang sebuah
keluarga yang tidak mendapatkan atau berkurang pemasukan bulanannya secara
signifikan. Akibat yang segera dirasakan adalah tingkat kesejahteraan hidup dan
standar gaya hidup mulai terganggu, apalagi jika kemudian datang berbagai
tagihan utang almarhum, tagihan kartu kredit, tagihan biaya pengobatan yang
belum dibayar, biaya pemakaman, dan sebagainya. Jangankan mereka yang sama
sekali tidak memiliki asuransi jiwa, keluarga yang sudah membeli asuransi jiwa
pun masih mungkin terganggu secara finansial jika tiang penopang utama
keluarganya meninggal dunia.
Kendala lain yang mungkin timbul di masyarakat adalah
perspektif bahwa mati-hidup seseorang adalah hanya Tuhan yang mengetahui. Hal
ini menjadikan para tenaga penjual sulit untuk memasarkan produk asuransi
syariah. Di sisi lain yang menjadi fenomena nasabah asuransi syariah banyak
yang non muslim. Hal positif yang dapat diambil menjadikan produk asuransi
syariah adalah produk yang universal.
2. Perspektif Masyarakat terhadap
Pegadaian
Pangsa pasar
pegadaian umumnya adalah lapisan masyarakat kelas menengah ke bawah, yang
hampir lebih dari 50% merupakan nasabah berpendapatan kecil (lapisan bawah),
dimana 50% digunakan untuk memulai usaha atau pun mengembangkan usahanya.
Nasabah lapisan bawah ini biasanya membawa barang jaminan kebanyakan bukan
berupa: 1) Perhiasan emas, berlian; 2) Kendaraan bermotor; atau pun 3)
Barang-barang elektronik, dimana barang jaminan tersebut sudah dipersyaratan
oleh pegadaian. Pada suatu kasus justru yang mereka bawa seperti pakaian yang
sudah pernah dipakai, yang dimana nilai rupiahnya relatif rendah atau pun
barang-barang yang diluar barang jaminan yang sudah dipersyaratkan oleh
pegadaian walaupun sebenarnya masih memiliki nilai ekonomis. Seringkali calon
nasabah yang datang ke pegadaian kembali lagi saat ada penjelasan bahwa barang
jaminan yang dibawanya tidak diterima sehingga menjadi kecewa sekali.
3. Perspektif Masyarakat terhadap Dana
Pensiun
Hingga kini masih
banyak orang yang ingin menjadi pegawai negeri karena mendambakan dana pensiun
saat setelah tidak bekerja. Perspektif masyarakat Indonesia secara umum
menunjukan bahwa yang mendapat pensiun hanyalah hak pegawai negeri atau TNI
saja. Namun, sejak kehadiran Undang-undang Nomor 11 tahun 1992, pensiun bukan
hanya hak pegawai negeri atau TNI semata, juga terbuka untuk semua pekerja,
baik yang bekerja pada perusahaan swasta maupun pekerja perorangan atau pekerja
mandiri, yang justru merupakan mayoritas bangsa Indonesia. Melalui
Undang-undang tersebut ditegaskan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK)
dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Pada hakikatnya program pensiun dapat
menciptakan ketenangan kerja bagi karyawan karena kesejahteraan di hari tua
akan dapat terjamin, yang pada gilirannya nanti, mereka akan lebih loyal
terhadap perusahaannya dan akan bekerja lebih produktif.
Dari sudut pandang
perusahaan sebagai pemberi kerja, program pensiun akan mencegah timbulnya
masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai bagian dari program
produktivitas perusahaan. Karena itu, kalau semua pihak konsisten dan memiliki
perhatian besar mengenai hal ini, tidak dapat diragukan bahwa tingkat
produktivitas nasional juga akan meningkat. Progarm pensiun terbagi menjadi dua
yaitu Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) dan Program Pensiun Iuran Pasti
(PPIP). Program Pensiun manfaat pasti (PPMP) adalah program pensiun yang
manfaatnya ditetapkan dalam peraturan dana pensiun yang bukan merupakan Program
Pensiun Iuran Pasti. Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) adalah program pensiun
yang iurannya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan seluruh iuran serta
hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing peserta sebagai
manfaat pensiun. Apabila diamati perusahaan-perusahaan swata, ternyata baru
sebagian saja yang telah memenuhi undang-undang no. 11 tahun 1992, yang
mewajibkan untuk memberikan dana pensiun kepada para pekerjanya. Masih banyak
perusahaan yang belum menyisihkan dananya untuk program pensiun, sehingga masih
relatif banyak pula pekerja yang belum dapat menikmati hari tua mereka setelah
tidak bekerja.
Di sisi lain para
pekerja mandiri yang saat ini merupakan mayoritas penduduk usia kerja masih
banyak yang belum terjangkau oleh DPLK, sehingga kesejahteraan mereka dihari
tua kurang terjamin. DPLK menyajikan berbagai keuntungan dan kemudahan, tetapi
juga terdapat hambatan-hambatan bagi perusahaan, bagi bank umum maupun
perusahaan asuransi jiwa yang mengelola DPLK dalam memasarkan program dana
pensiun kepada masyarakat. Hambatan itu dapat bersumber dari dalam perusahaan
maupun dari luar perusahaan. Seperti diketahui, dalam era globalisasi saat ini
banyak berdiri perusahaan-perusahaan asuransi dan bank umum di Indonesia dengan
program DPLK, sehingga persaingan semakin kompetitif.
4. Perspektif Masyarakat terhadap
Reksadana dan Bursa Efek
Terdapat pandangan dari masyarakat bahwa lebih baik
berinvestasi di sektor riil daripada sektor non riil. Karena sektor riil
merupakan bidang-bidang yang jelas terlihat oleh masyarakat, seperti bidang
penjualan produk dan jasa. Jika memiliki dana yang berkelebihan, maka cenderung
berinvestasi dalam bidang properti, pembelian franchise. Kalaupun hendak berinvestasi
di sektor non riil, maka saham dan reksa dana lebih dipilih dari pada forex
trading. Alasannya, saham dan reksadana nampak “lebih riil” dibanding forex.
Masyarakat dewasa ini lebih condong untuk berinvestasi pada sektor riil
daripada sektor non riil. Mereka lebih condong untuk berinvestasi pada
bidang-bidang yang jelas terlihat oleh pandangan masyarakat. Contohnya
penjualan produk dan jasa. Kalaupun pada sektor non riil, saham dan reksa dana
lebih dipilih daripada forex trading. Alasannya, saham dan reksadana nampak
‘lebih riil’ dibanding forex. Namun seiring dengan semakin meningkatnya
kecerdasan masyarakat investasi Indonesia, terdapat potensi forex trading akan
menjadi salah satu alternatif utama investasi sektor non riil selain saham.
Besarnya return yang dapat diberikan dan likuiditas forex trading menjadi salah
satu keunggulan sektor investasi ini. Ditambah, pemerintah mulai berperan aktif
sebagai regulator dalam produk perdagangan berjangka (seperti forex. komoditi
dan index). Ketakutan yang mendasar adalah mengenai prinsip “High Risk, High
Return” dari forex trading dan kurangnya edukasi pada investor baru yang
menyebabkan sulitnya investor pemula untuk memprediksi pergerakan harga yang
berakhir pada kerugian dalam berinvestasi. Sisi high return forex trading
menyebabkan siapa saja dapat memperoleh keuntungan besar hanya dalam tempo yang
sangat singkat. Namun seperti pedang bermata dua, apabila kita dapat memperoleh
keuntungan yang cukup besar maka risiko kerugian pun sama besarnya dan berbanding
lurus dengan penguasaan teknik bertrading, informasi dan mental investor.
Permasalahan bagi investor pemula adalah kebanyakan hanya
melihat sisi High Return dari forex trading dimana keuntungan bisa mencapai 20%
dari modal asal hanya dalam satu hari namun tidak pada sisi High Risk-nya.
Ditambah adanya beberapa marketing lokal yang memasarkan forex dengan
menonjolkan sisi return-nya melulu tanpa memberikan informasi atau kemampuan
bertrading yang cukup. Pada akhirnya kerugian para investor baru membentuk
stigma buruk masyarakat bahwa forex trading adalah sama dengan judi yang dimana
tidak sesuai dengan prinsip syariah.
5. Perspektif Masyarakat terhadap
Leasing
Sebagian besar
konsumen motor di Indonesia sering kali membeli motor dengan cara kredit. Jika dibandingkan
dengan membeli secara tunai, pembelian dengan cara kredit jauh lebih mahal.
Tapi seringkali pilihan pembayaran secara kredit jadi pilihan terakhir karena
banyak faktor. Salah satunya kemampuan membayar calon konsumen yang lebih mampu
jika harus membayar secara kredit. Cicilan jadi pilihan yang bisa ditempuh
sebagai cara memiliki barang yang diinginkan apabila tak mampu membeli barang
secara langsung dengan cara tunai. Selain itu budaya konsumerisme yang telah
mengakar kuat pada masyarakat Indonesia yang menjadi faktor pendorong kuat
sistem pembelian secara kredit ini tumbuh pesat di Indonesia. Faktor-faktor
lainnya mungkin kurang etis jika harus dijabarkan satu per satu secara detail
di sini. Intinya permintaan motor di Indonesia bisa terbentuk cukup besar
karena adanya kemudahan membeli secara kredit. Besarnya permintaan motor di
Indonesia tercipta karena adanya kemudahan dari pembayaran secara kredit,
walaupun suku bunga kredit motor sangat tinggi. Hal ini sering dikeluhkan
banyak orang. Faktanya pengguna kredit motor di Indonesia adalah dari kelas C D
E, dimana tingkat risiko leasing cukup tinggi akibat kredit macet, dan berujung
pada risiko penarikan unit. Leasing melakukan manajemen risiko dengan cara
menetapkan suku bunga tertentu untuk “kualitas” DP tertentu dan untuk area
tertentu. Pada akhirnya adalah sebagai kompensasi angka Non Performing Loan
(NPL) yang cukup tinggi ini, diberlakukan bunga kredit yang sangat tinggi pada
bisnis ini. Di sisi lain, hasil margin bisnis Leasing ini masih sangat manis
dan besar di Indonesia karena budaya konsumerisme kredit di masyarakat. Untuk
porsi produk syariah pada leasing ini belum terlalu besar, namun para pemain di
industri sudah mulai merambah di pasar ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Pandangan masyarakat tentang lembaga
keuangan bukan bank saat ini sebagian besar berpandangan positif. Karena
peranan lembaga keuangan non bank saat ini sudah hampir sama dengan peran
lembaga keuangan bank. Namun LKBB dapat mengatasi masalah masyarakat dari
lapisan menengah ke bawah. Sehingga masyarakat lebih cenderung untuk meminjam
dana di lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Dan akhirnya lembaga keuangan bukan
bank (LKBB) dapat berkembang dengan pesat.
4.2 . SARAN
Kami menyarankan bahwa pada masyarakat
untuk lebih selektif dalam memilih lembaga keuangan untuk meminjam dana. Karena
setiap lembaga kuangan memiliki fungsi dan tingkat bunga yang berbeda-beda. Dan
perlu di ingat pula dalam melakukan peminjaman dana masyarakat harus mencari
informasi tentang lembaga keuangan yang akan di jadikan sebagai pihak peminjam.
DAFTAR PUSTAKA
link untuk download materi ini: